"Ki Bangor, bolehkah saya bertanya?" tanya Adinata dengan sopan. "Silahkan Adinata, apa yang ingin kamu ketahui?" jawab ki bangor. "Bolehkah saya membawa nimas ambarwati, kakek darma dan nini wilis dari sini?" tanya Adinata. "Boleh sekali Adinata, silahkan, saya anggap dendam diantara saya dan ki wisesa orangtua nini wilis dianggap selesai" jawab ki bangor panjang lebar. "Tapi bolehkah saya mengajukan satu permintaan?" tanya ki bangor. "Apakah itu ki bangor, saya akan berusaha memenuhinya jika saya mampu" jawab adinata. "Karena kamu telah memenangkan sayembara ini, maukah kamu menikahi putri saya maheswari?" tanya ki bangor. Mendengar hal ini adinata terkejut. Ambarwati juga terkejut. "Maaf ki bangor, sebenarnya saya tidak bermaksud mengikuti sayembara mencari jodoh ini, tapi niat saya hanyalah menolong sesama, dan kebetulan saya sudah mempunyai calon istri" jawab adinata. "Saya tahu nak adinata, tapi coba dipikirkan lagi" kata ki bangor sedikit memohon. Adinata menengok ke ambarwati, meminta pendapatnya. "Bagaimana ini nimas ambarwati, kok malah jadi seperti ini?" tanya adinata. "Sebenarnya saya sangat berkeberatan dengan hal ini, tapi saya bisa memakluminya. Saya akan menyetujui hal ini tapi dengan satu syarat?" kata ambarwati. "Syarat apakah itu den ayu?" tanya ki bangor. "Kakang adinata boleh menikahi nimas maheswari hanya setelah kakang adinata telah menikahiku terlebih dahulu" kata ambarwati dengan tegas. "Baiklah, aku bisa menerima syaratmu den ayu" jawab ki bangor.
"Baiklah, karena semuanya sudah selesai kami mohon pamit untuk kembali ke rumah kakek darma" kata adinata. "Maafkan atas perbuatanku telah menghancurkan rumah Darma dan nini wilis, aku akan panggil tukang kayu terbaik untuk membangun rumah yang lebih bagus untuk darma dan nini wilis" kata ki bangor menyesali perbuatannya. "Terimakasih ki bangor, perselisihan diantara kita sudah selesai saja kami sudah bersyukur" kata kakek darma. "Bopo, bolehkah aku ikut dengan kakang adinata beserta mbakyu ambarwati, aku ingin menikmati suasana baru?" tanya maheswari. "Bolehsaja putriku, tapi tanyalah pada nak adinata dan den ayu ambarwati apakah kamu diijinkan untuk ikut mereka?" jawab ki bangor. "Mbakyu ambarwati, boleh ya aku ikut?" kata maheswari sedikit manja. "Ambarwati yang tidak mempunyai adik perempuan luluh dengan ambarwati. "Boleh saja nimas maheswari saya tidak keberatan, kamu juga tidak keberatan kan kakang?" tanya ambarwati. "Kalau nimas membolehkan saya sih ikut saja apa perkataanmu" jawab adinata mengiyakan.
Pagi harinya Adinata beserta seluruh rombongan pamit kepada ki bangor. Maheswaripun ikut pamit karena mau mengikuti adinata berpetualang. Setelah menempuh perjalanan selama sekitar setengah hari dengan naik kuda sampailah mereka di dusun nglanggeran. Mereka langsung menuju rumah pak kerto dan mbok mirah. Nyi lastri senang sekali melihat anak asuhnya ambarwati baik-baik saja. Namun ia heran dengan adanya seorang perempuan cantik yang usianya sekitar dua tahun lebih muda dari ambarwati. "Maaf den nata, siapakah dia?" tanya nyi lastri masih canggung. "Dia nimas maheswari, sudah aku anggap seperti adik sendiri, nanti saya ceritakan ya bi lastri" ambarwati menjawab pertanyaan nyi lastri pengasuhnya. "Bi lastri, Perkenalkan nama saya maheswari" kata maheswari dengan sopan. "Saya bibi lastri, pengasuh nimas ayu ambarwati sejak kecil" jawab nyi lastri. Keduanya berjabat tangan.
"Mari silahkan masuk kedalam rumah, kebetulan istri saya sudah masak banyak untuk menyambut kedatangan kalian semua" kata pak kerto mempersilahkan dengan ramah. "Terimakasih pak kerto, maaf merepotkan" kata adinata. "Tidak apa-apa den nata, justru saya sangat senang ada banyak tamu yang berkenan mampir ke gubuk saya" jawab pak kerto.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah serombongan tukang kayu yang sudah membawa peralatan dan bahan bangunan. Rupanya rombongan tukang itu adalah orang suruhan ki bangor. "Oh ya kakek darma, nini wilis, saya mewakili bopo saya memohon maaf atas kekilafan kemarin, dan sebagai rasa penyesalan kami akan membangun rumah kakek darma dan nini wilis lebih baik lagi dari kemarin" kata maheswari mewakili ayahnya. "Terimakasih den ayu, sesama manusia harus saling memaafkan. Kami sudah ikhlas dan terimakasih jika kami mau dibuatkan tempat tinggal lagi" jawab nini wilis.
Ketika sedang berbincang-bincang tiba-tiba berdentum suara keras. Adinata yang penasaran langsung berlari menuju gunung api purba untuk melihat keadaan. Dari sana adinata dapat melihat dengan jelas bahwa gunung merapi sedang mengeluarkan awan panas. Khawatir dengan keadaan perguruan lereng merapi adinata langsung menuju rumah pak kerto untuk berpamitan.
"Pak kerto, mbok mirah, serta kakek darma dan nini wilis mohon maaf sekali saya harus segera pergi, karena sekarang gunung merapi mengeluarkan awan panas, sejujurnya saya mengkhawatirkan keadaan perguruan lereng merapi, guru saya beserta saudara seperguruan saya yang lain" kata adinata. "Baiklah nak, apakah ada yang bisa kami bantu?" tanya kakek darma. "Terimakasih kakek, cukup doanya saja untuk keselamatan kami" kata adinata. "Baiklah adinata, saya doakan kamu selamat diperjalanan dan sampai disana dalam keadaan sehat tidak kurang suatu apa, dan semoga warga perguruan lereng merapi juga baik-baik saja" kakek darma dan nini wilis beserta pak kerto dan mbok mirah mendoakan adinata beserta rombongan.
"Nimas ambarwati, kamu mau ikut aku ke lereng merapi atau mau kembali ke hargowilis?" tanya adinata. "Aku ikut kakang ke lereng merapi, karena aku belum pernah kesana" jawab ambarwati. "Kalau kamu bagaimana paman gembul, mau pulang ke hargowilis atau ikut kami ke lereng merapi" tanya adinata. "Saya dan nyi lastri akan ikut den nata dan den ayu ambarwati ke lereng merapi" kata paman gembul.
Adinata beserta rombongan segera bergegas menuju lereng merapi. Mereka menyewa gerobak yang di tarik dengan dua ekor sapi. Pemandangan menuju ke gunung merapi sebenarnya tampak indah. Namun karena adinata sedang khawatir, ia tidak bisa menikmati perjalanannya. Lain halnya dengan maheswari yang baru pertama kali bepergian. Ia tidak henti-hentinya berdecak kagum menikmati keindahan alam. "Lihat kakang, lihat mbakyu, pemandangannya indah sekali" kata maheswari dengan ceria. Ambarwati tersenyum melihat keceriaan maheswari. Entah kenapa, meskipun belum kenal begitu lama, tapi ia sudah menganggap maheswari seperti adik kandungnya sendiri. Paman gembul dan nyi lastri ikut tersenyum melihat tingkah maheswari.
Siang harinya, adinata dan kawan-kawan sudah menempuh setengah perjalanan. Mereka beristirahat di bawah pohon beringin yang rindang sambil menikmati bekal yang dibawakan oleh mbok mirah dan pak kerto. Kebetulan disitu ada penjual dawet. Adinata dan kawan-kawannya menikmati bekal sambil minum dawet. Bahkan karena saking enaknya, paman gembul nambah nasi dan lauk. "Kakang, jangan begitu dong, malu sama den nata" kata nyi lastri mengingatkan suaminya. "Tidak apa-apa nyi, saya malah senang kok melihat paman gembul makan dengan lahap" kata adinata. "Terimakasih den nata, aden memang sahabat yang paling pengertian" kata paman gembul.
Setelah selesai menikmati bekal Adinata dan rombongan melanjutkan perjalanan. Sore harinya sampailah mereka di padukuhan sambi, tempat orangtua adinata tinggal. Tempat tinggal adinata dekat dengan ledok sambi. Ledok sambi tempatnya sangat indah. Ada aliran sungai kecil yang menambah keindahannya. Karena tempatnya yang sangat indah, banyak para pelancong yang berdatangan ke ledok sambi, bahkan ada beberapa yang mendirikan tenda untuk berkemah.
Kedua orangtua Adinata sangat senang dan bahagia putra kebanggaannya datang. Mereka berdua sedikit heran karena Adinata datang bersama dua orang yang sangat cantik dan juga dua orang yang mirip pengasuh. "Perkenalkan Bopo dan Biyung, ini nimas Ambarwati, nimas Maheswari dan ini paman gembul dan bi lastri yang sudah kami anggap seperti keluarga sendiri" Adinata memperkenalkan anggota rombongannya. "Oh, begitu ngger, sudahlah, masuklah kalian semua, tentu kalian lelah, bersih-bersihlah dahulu, nanti terus kita makan bersama, biyungmu sudah masak banyak makanan untuk menyambut kedatangan kalian" jawab Ki Paramudya, bopo dari Adinata.
Setelah mandi dan beristirahat, Ki Paramudya dan Nini Darminah biyung dari Adinata segera menjamu para tamunya. Di meja makan telah terhidang nasi putih yang masih hangat ditemani sayur gudek, sayur tempe krecek, sego gudangan, trancam sayuran, jadah dan wajik khas merapi. Lauknya juga sangat lengkap ada ayam goreng, ayam bakar, gurami bakar, nila goreng, wader goreng dan masih banyak lagi. Minumannya juga tidak kalah nikmat, ada teh nasgitel (panas, legi, kentel), wedang jahe, wedang kopi. "Mari silahkan dinikmati sepuasnya, Nini sengaja masak banyak untuk kalian" kata Ki Paramudya mempersilahkan tamunya.
Setelah selesai makan malam Adinata segera meminta ijin kepada kedua orangtuanya untuk pergi menuju perguruan lereng merapi. "Bopo, ananda minta ijin untuk malam ini juga menuju ke perguruan lereng merapi, karena terus terang saya sangat mengkhawatirkan keadaan mereka, karena sewaktu perjalanan kesini saya lihat banyak burung dan monyet turun ke bawah, saya khawatir gunung merapi akan meletus dalam waktu dekat". "Baiklah ngger, hati-hatilah, doaku selalu menyertaimu. Tolong sampaikan salamku kepada gurumu, dan sampaikan juga bahwa kami warga pedukuhan sambi bersedia menampung mereka untuk sementara sampai gunung merapi reda kembali" jawab Ki Paramudya. "Terimakasih bopo, nanti pesan bopo akan saya sampaikan pada guru saya" jawab Adinata. "Saya ikut ya den nata, saya juga kan murid dari perguruan lereng merapi, saya juga ingin membantu sebisa mungkin" kata paman gembul ingin ikut. "Boleh paman, untuk nimas ambarwati,nimas maheswari dan bi lastri, tinggal disini saja dulu ya, biarlah kami para lelaki yang menuju kesana" kata Adinata. "Baiklah kakang, kami akan menunggu di sini, tapi nanti sekiranya butuh bantuan, kami bersedia membantu" kata Ambarwati.
Adinata dan paman gembul segera bergegas menuju padepokan di lereng merapi. Karena jaraknya yang tidak begitu jauh sekitar satu jam kemudian sampailah mereka berdua di padepokan. Saat itu Ki Satya kelihatan sedang duduk kelelahan di pendopo padepokan. "Assalamualaikum guru, apa kabar, semoga kabar baik adanya" sapa Adinata. "Walaikumsalam, Oh, Ngger anakku, kamu kemana saja, gurumu ini sudah sangat kangen sama kamu" jawab Ki Satya. "Ceritanya panjang guru, nanti akan saya ceritakan panjang lebar, tapi yang terpenting sekarang, bagaimana keadaan padepokan sekarang?" tanya Adinata. "Sebenarnya keadaan padepokan baik-baik saja, namun sebetulnya seluruh warga padepokan sedang dilanda kecemasan, karena akhir-akhir ini sering terdengar bunyi gemuruh dari kawah gunung merapi, sepertinya akan meletus ngger, kami jadi tidak tenang" Ki Satya menjelaskan. "Oh begitu masalahnya, saya sebenarnya ada jalan untuk memecahkan persoalan ini, tentunya kalau guru setuju" kata Adinata. "Apakah itu ngger, semoga bisa memecahkan persoalan yang sedang dihadapi disini?" tanya Ki Satya. "Kalau guru tidak berkeberatan, seluruh warga padepokan bisa mengungsi sementara di Ledok Sambi, disana ada tempat yang lapang untuk mendirikan tenda perkemahan sementar" jawab Adinata. "Bagus sekali usulmu ngger, tapi masalah makan minumnya bagaimana, kita sebenarnya mempunyai bahan makanan dan minuman, tapi sepertinya terbatas?" tanya Ki Satya lagi. "Tenang guru, masalah itu sudah saya pikirkan, yang penting kita kesana dulu" kata Adinata. "Baiklah saya setuju dengan usulmu ngger, malam ini biar semua warga padepokan bersiap-siap untuk mengungsi, kita pergi mengungsi besok". "Ngomong-ngomong ini siapa ya, kok saya belum kenal?" tanya Ki Satya. "Oh ini paman gembul, yang sering membantu saya guru, katanya ia ingin sekali menjadi murid padepokan lereng merapi, dan mohon maaf sebelumnya guru, saya sudah lancang, ia sudah belajar beberapa jurus ciri khas perguruan kita" kata adinata. "Tidak apa-apa ngger, saya percaya kepadamu, karena kamulah calon penerus padepokan lereng merapi ini". "Perkenalkan saya gembul, ijinkan saya jadi muridmu guru" kata paman gembul memperkenalkan diri sambil mencium telapak tangan Ki Satya. "Kamu saya terima jadi murid padepokan lereng merapi gembul, ikuti semua nasihat dari ngger adinata, karena dialah calon pemimpin di padepokan ini" nasihat ki satya. "Baiklah guru, semua nasihat guru akan saya laksanakan" jawab paman gembul mantap.
Malam harinya seluruh warga perguruan lereng merapi berkemas-kemas untuk mengungsi. Barang-barang yang dianggap berharga dan penting mereka bawa. Pakaian, uang, perhiasan mereka simpan dengan rapi. Seluruh warga perguruan lereng merapi telah bersiap mengungsi dibawah arahan Adinata, yang menjadi calon penerus perguruan lereng merapi.
Pagi-pagi benar sehabis sholat subuh Ki Satya bersama seluruh rombongan bergerak menuju ke Ledok Sambi. Mereka semua berjalan kaki. Namun ada beberapa perbekalan terutama yang berukuran besar dibawa dengan menggunakan gerobak yang ditarik dua ekor sapi. Hawa lereng merapi yang sangat dingin tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus bergerak menuju ke pedukuhan sambi. Di sebelah timur pedukuhan sambi terdapat ledok atau dataran rendah di pinggir sungai kecil yang airnya mengalir jernih.
Satu jam kemudian sampailah mereka di pedukuhan sambi. Sebelum menuju ke Ledok Sambi Adinata mengajak seluruh rombongan untuk mampir dulu kerumahnya. Ki Paramudyo dan Nini Darminah menyambut kedatangan Ki Satya beserta seluruh rombongan dengan ramah. "Marilah guru, kita masuk kedalam untuk sekedar beristirahat dan sarapan pagi". "Terimakasih Ki" jawab Ki Satya. "Adinata, persilahkan adik-adik seperguruanmu untuk beristirahat di pendopo, dan minta tolonglah kamu ke ibu-ibu di belakang untuk mempersiapkan segala sesuatunya" perintah Ki Paramudyo. "Baiklah Bopo, akan segera ananda laksanakan" jawab Adinata dengan sopan.
Di Dapur Ambarwati dan Maheswari menyambut Adinata dengan senyum semringah. "Nimas Ambarwati dan Nimas Maheswari, tolong dipersiapkan makanan dan minuman untuk saudara-saudara kita dari perguruan lereng merapi ya" kata Adinata. "Baik kakang" Ambarwati dan Maheswari menjawab secara bersamaan. "Ciye-ciye, Den Nata pinter memilih calon istri ini, sekaligus dua lagi, memang bang jago nih" goda ibu-ibu yang ikut gotong royong memasak di dapur. "Ah, simbok bisa saja" jawab Adinata sembari tersenyum. Ambarwati dan Maheswaripun tersipu malu.
Tidak berapa lama kemudian Ambarwati dan Maheswari membawa beragam makanan dan minuman hangat untuk warga perguruan lereng merapi. Nasi yang masih mengebul panas, sayur krecek yang menggoda selera, sayur gudek, ikan asin, dan sayur lodeh telah terhidang di atas tikar. Tidak lupa juga aneka minuman hangat seperti teh panas, kopi, serta wedang sereh. "Marilah guru, monggo dinikmati makanan dan minuman ala kadarnya ini" kata Ki Paramudyo mempersilahkan Ki Satya untuk menikmati hidangan. "Terimakasih Ki, kami seluruh warga perguruan lereng merapi mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga atas sambutan yang sangat hangat ini" jawab Ki Satya. "Adinata, persilahkan adik-adik seperguruanmu untuk sarapan" perintah Ki Paramudyo kepada Adinata. "Baik Bopo" jawab Adinata dengan sopan. Adinatapun segera mempersilahkan adik-adik seperguruannya untuk menikmati hidangan yang telah disediakan.
Setelah selesai sarapan Ki Paramudyo berbincang-bincang dengan Ki Satya. "Guru, kalau tidak berkeberatan, kami warga dusun telah menyiapkan tempat untuk bernaung sementara sampai merapi benar-benar aman. "Oh, terimakasih sekali Ki, kalau boleh tahu, dimanakah tempatnya?" tanya Ki Satya. "Di sebelah timur pedukuhan sambi terdapat ledok atau dataran rendah di pinggir sungai kecil yang airnya mengalir jernih. Di situ warga perguruan lereng merapi bisa membuat tenda sementara. Kami seluruh warga dusun sambi akan membantu untuk membuat tenda dan mempersiapkan dapur umum" jawab Ki Paramudyo panjang lebar. "Terimakasih sekali Ki dan seluruh warga dusun sambi yang mau membantu kami, sekali lagi kami mengucapkan beribu-ribu terimakasih" kata Ki Satya. "Ah, tidak usah sungkan guru" jawab Ki Paramudyo.
Tidak berapa lama kemudian warga dusun sambi telah berdatangan berkumpul di rumah ki Paramudyo untuk membantu membuat tenda sementara dan dapur umum. Ki Paramudyo dan Adinatapun tidak lupa mempersilahkan warga dusun sambi untuk sarapan terlebih dahulu. "Wah enak sekali masakannya den Nata, siapa yang masak ini?" tanya salah seorang warga dusun sambi. "Wah, pak lek belum tahu ya kalau den nata telah mempunyai dua calon istri yang sangat cantik" sahut tetangga adinata yang lain. "Ah, lek gino bisa saja" jawab adinata sedikit tersipu malu.
Setelah selesai sarapan, seluruh warga lereng merapi beserta warga dusun segera menuju ke tanah lapang di ledok sambi. Ledok sambi tempatnya sangat indah, pohon-pohon menghijau, sungai kecil yang mengalir jernih dan banyak ikannya. Ternyata Ki Paramudyo telah mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat tenda sementara di sana. Warga perguruan dan warga dusun bahu-membahu membangun tenda sementara dan dapur umum. Karena dikerjakan dengan bergotong-royong, belum sampai waktu dzuhur pekerjaan pembuatan tenda sementara dan dapur umum telah selesai.
Setelah hampir seharian bekerja, akhirnya tenda sementara dan dapur umum telah selesai. Warga padepokan lereng merapi pun bersuka cita. Mereka bersyukur karena mereka dapat tidur dengan nyenyak, tanpa terlalu khawatir jika sewaktu-waktu gunung merapi meletus. Karena menurut penuturan warga dusun Sambi, lahar panas ataupun awan panas letusan gunung merapi tidak sampai ke dusun mereka.
Ambarwati dan Maheswari, dengan dibantu oleh perempuan remaja dan ibu-ibu warga kampung, dengan cekatan telah menyiapkan masakan di dapur umum. Aneka makanan dan minuman hangat telah siap untuk disantap. Ada nasi megono, nila goreng, ayam goreng, ikan asin, sayur gudek, sayur asem dan masih banyak lagi. Minumannyapun tidak kalah istimewa, ada wedang sereh, wedang jahe, teh panas, kopi panas, semuanya lengkap tersedia.
Remaja laki-laki dan bapak-bapak yang seharian bekerjapun seketika langsung merasa lapar. Namun mereka tidak berani mendekat ke dapur umum kalau belum mendapat perintah. Adinata yang paham dengan situasi itu bergegas segera menemui Ambarwati dan Maheswari. "Nimas, apakah masakannya sudah siap, kalau sudah saya akan meminta seluruh warga yang bergotongroyong untuk datang kemari makan dan minum" tanya Adinata. "Semuanya sudah siap kakang, silahkan ajak warga kemari untuk makan bersama-sama" jawab Ambarwati.
Tidak berapa lama wargapun berbondong-bondong makan. Warga makan dan minum sambil bersenda gurau dengan riang gembira. Adinatapun turut berbahagia melihat suasana itu. "Ini kakang makan siangmu, sudah kuambilkan" kata Maheswari. "Terimakasih nimas, kamu baik sekali" kata Adinata memuji. "Ah,kakang bisa saja, tadi mbak ayu ambarwati yang menyiapkannya" jawab maheswari sedikit tersipu malu. "Uhuy" goda warga dusun sambi. Adinata cuma tersenyum.
Sekitar seminggu kemudian gunung merapi benar-benar meletus, namun untungnya ledakannya tidak begitu besar sehingga tidak membahayakan warga lereng merapi. Adinata dan seluruh warga dusun sambi beserta warga padepokan merapi bersyukur sekali telah melewati bahaya dengan selamat.
Bersambung
0 Komentar